Baru-baru ini Jokowi akan berencana
memberi nama salah satu ruas jalan besar di Jakarta dengan nama Sukarno.
Mungkin bagi generasi yang lebih muda, bagi mereka yang lahir
pertengahan tahun 80-an banyak yang tak paham, kenapa kok nama Jalan
Sukarno saja jadi berita yang menghebohkan, ada apa dengan Jalan
Sukarno?
Di Indonesia, salah satu bentuk
penghormatan adalah memberikan nama Jalan Utama dengan nama Pahlawan
Nasional, atau Pahlawan yang dianggap berjasa di satu wilayah. Tak harus
Pahlawan Nasional memang, seperti di Bogor terkenal sekali jalan Mayor
Oking atau di Depok ada jalan besar nama Margonda, yang diambil dari
nama Umar Ganda, salah satu pejuang di masa Revolusi 1945 yang memimpin
barisan berani mati di sekitar Kukusan sampai Pondok Cina dan pernah
menyerbu tangsi KNIL di sekitar Pasar Minggu, juga menyerang Republik
Depok (pada masa Revolusi Proklamasi 1945, Depok merupakan negara
tersendiri yang dikuasai kelompok keturunan Belanda-Depok). Nama jalan
juga kerap menjadi ajang pertarungan perkelahian sejarah, peristiwa
pembantaian Bubat yang menewaskan seluruh delegasi Pajajaran dalam
peristiwa “Pernikahan Politik Hayam Wuruk dan Puteri Dyah Pitaloka”
pada tahun 1357 sampai sekarang masih menyimpan luka dan tidak satu
ruas-pun jalan di Bandung menggunakan nama Jalan Gadjah Mada, padahal di
kota-kota lain di Jawa, nama Jalan Gadjah Mada selalu menjadi nama
jalan besar bahkan jalan boulevard.
|
Bung Karno pada Tahun 1960 meresmikan Jalan Sukarno di Rabat, jalan ini
dikenal dengan nama sharia Al-Rais Ahmed Sukarno, Jalan ini merupakan
pusat kota yang ramai di Rabat (Sumber Photo : ANTARA) |
Setelah didongkelnya Bung Karno lewat patgulipat Supersemar 1966 dan
dihancurkannya seluruh jaringan kekuatan lingkaran dalam Sukarno, maka
salah satu agenda penting pendirian rezim Orde Baru adalah melakukan
politik De-Sukarnoisasi, tujuan utama politik De-Sukarnoisasi adalah
menghilangkan secara bertahap ajaran-ajaran politik Sukarno, terutama
sekali orientasi politik Sukarno yang amat berbau Kiri. Modal Asing
adalah tujuan utama sasaran pembangunan ekonomi politik Orde Baru,
sementara pihak negara asing tidak ingin tujuan-tujuan berinvestasinya
gagal karena masih kuatnya pengaruh alam pikiran Sukarno yang menolak
segala bentuk dikte asing, kelompok Sukarnois dinilai akan menjadi
hambatan serius bagi kelangsungan modal asing. Selain itu secara
politik, kekuatan massa terbesar di Indonesia adalah ‘jaringan massa
Sukarno’ yang kemudian dikooptasi oleh Orde Baru dan dilemahkan menjadi
bagian dari ‘floating mass’ atau ‘massa mengambang’, dimana mereka tidak
memiliki pilihan ideologis yang fanatik.
“De-Sukarnoisasi adalah Agenda yang
berkelanjutan dan menyeluruh” begitulah salah satu isi tujuan politik
Kopkamtib pada tahun 1968. De-Sukarnoisasi harus didukung empat kekuatan
yaitu : Pers, Jaringan Mahasiswa, Intelektual dan Birokrasi. Strategi
ini dijadikan bagian langsung dari Opsus dan ketertiban sipil.
Usaha-usaha De-Sukarnoisasi dengan menjelek-jelekkan Sukarno sangat
hebat di tahun 1968, bahkan secara berkala koran “Mahasiswa Indonesia”
yang saat itu dipimpin banyak tokoh mahasiswa termasuk Rahman Tolleng,
secara intens menyerang Sukarno dengan tuduhan macam-macam, salah satu
tulisan yang kerap menyerang Sukarno ditulis oleh seorang jurnalis MI
bernama Aldy Anwar. -Dokumentasi penyerangan ini kemudian dibundel oleh
penulis Perancis, Francois Raillon dalam bukunya “Politik dan Ideologi
Mahasiswa Indonesia”.
Kebangkrutan Sukarno adalah tujuan utama
berpolitik bagi mereka yang mendukung Orde Baru. Disini Suharto sebagai
Presiden RI berusaha bermain cantik, Suharto selalu menjaga jarak
dengan kelompok yang mati-matian menghancurkan nama Sukarno, tapi kadang
Suharto juga membiarkan penghancuran nilai-nilai Sukarno itu. Usaha
pembangkrutan nama Sukarno terus dilakukan, namun pada saat kematian
Sukarno pada tanggal 21 Juni 1970, hampir semua bangsa ini menangisinya,
pers kembali balik memuji-muji Bung Karno. Sebuah era baru kebangkitan
nama Sukarno.
|
Jalan Sukarno di Mesir, Juga Merupakan Pusat Kota. (Sumber Photo : Kompas) |
Pada tahun 1975, Ali Sadikin pernah berniat menamakan jalan sepanjang
Jalan Pegangsaan sebagai nama “Jalan Sukarno” namun niat Ali Sadikin itu
dilabrak oleh pihak anti Sukarno yang sedang amat berkuasa dilingkaran
dalam Suharto. Niat Ali itu juga dituduh sebagai bentuk ambil hati Ali
kepada kekuatan massa Sukarnois yang berpotensi menyerang Presiden
Suhaarto.
Pada tahun 1978, saat itu desakan dunia
Internasional menguat terhadap tahanan politik Orde Baru dan ada secara
bertahap para tahanan politik dibebaskan. Di kalangan internal Suharto
sudah ada gagasan untuk kembali menghargai Sukarno. Namun gagasan ini
diperhalus dengan bahasa-bahasa patriotisme, ucapan-ucapan Sukarno kerap
didengungkan dalam pidato-pidato politik Orde Baru, termasuk ucapan
terkenal Sukarno di Tambaksari Surabaya menjelang pertempuran 10
November 1945 “Bangsa ini mencintai kebebasan tapi lebih cinta
kemerdekaan”. Ucapan itu sering dilontarkan pejabat Orde Baru, termasuk
Presiden Suharto dan Menteri Penerangan Ali Moertopo pada awal tahun
1980-an.
Puncak nostalgia bangsa ini kepada
Sukarno sekaligus menciptakan arus besar melawan politik De-Sukarnoisasi
adalah ketika Suharto memutuskan untuk menggempur Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), menceraikan PPP dengan NU dan mendekati PDI lewat
lobbying politik Jenderal Benny Moerdani dimana salah satu anak didik
Benny Moerdani, Drs Soeryadi adalah ketua PDI. Jenderal Benny Moerdani
sendiri memiliki kenangan manis dengan Bung Karno, dia adalah salah
tentara kesayangan Sukarno. Semasa Benny masih berpangkat Letnan,
Sukarno pernah berujar bahwa “Benny itu anak lanangku” didepan beberapa
Jenderal, di satu sore menjelang tahun 1965 bahkan Benny sempat diminta
untuk menikahi salah satu anak perempuan Sukarno, tapi Benny menolak
karena sudah punya pacar. Benny Moerdani dianggap oleh banyak analis
Politik sebagai salah satu pintu gerbang terbukanya arus besar lahirnya
“politik Sukarno” dalam konstelasi politik nasional, bahkan kelak
dikemudian waktu “Politik Sukarno” adalah rivaal terkuat Orde Baru dan
penggulingan Suharto tak lepas dari beredarnya banyak buku-buku yang
menjelaskan bagaimana kekuatan Nasionalisme Sukarno terbentuk. Gerakan
bawah tanah para mahasiswa dan intelektual yang menjadi penggerak
demonstrasi besar-besaran 1998 kerap menggunakan anatomi pemikiran
Sukarno sebagai penjelasan antitesis politik Orde Baru.
Politik Kompromi Orde Baru dengan Sukarnoisme
Pada saat pembangunan Bandar Udara di
Cengkareng, saat itu didebatkan apa nama Bandara Utama Republik
Indonesia, adalah suatu kebiasaan memberikan nama Bandara Nasional
kepada nama Pahlawan yang dianggap paling berjasa bagi negaranya. Ada
beberapa usulan yang masuk ada nama Bandara Gadjah Mada, Bandara MH
Thamrin, bahkan ada yang mengusulkan Bandara Sudirman. Namun Pak Harto
saat itu menolak semua usulan dan menyetujui usulan nama Bandara
Sukarno-Hatta, alasan Pak Harto saat itu adalah yang membentuk negara
ini lewat tanggung jawab dua orang itu yaitu : Bung Karno dan Bung
Hatta, mereka adalah jaminan kepada rakyat, leher mereka menjadi
taruhannya saat negeri ini berdiri. Pak Harto memberikan nama itu
setelah melakukan perenungan selama tiga hari. Keputusan nama Bandara
Sukarno-Hatta sendiri keluar pada jam 6 pagi tanggal 10 November tahun
1981 menjelang ia berangkat ke Taman Pahlawan Kalibata, peresmian
bandara itu sendiri dilakukan pada tahun 1985.
Penisbahan nama Bandara Sukarno-Hatta di
Bandara Cengkareng merupakan puncak dari politik kompromi Suharto
terhadap kaum Sukarnois. Namun secara implisit Orde Baru hanya mengakui
jasa Sukarno terhadap Republik yaitu dibatasi sampai pada tahun 1956,
tahun dimana Bung Hatta mengundurkan diri, antara tahun 1957 sampai
dengan tahun 1965 adalah tahun yang dikutuki oleh Orde Baru, padahal
bagi pengikut Sukarno atau kaum Sukarnois tahun 1957 sampai dengan tahun
1965 disebut sebagai “Tahun Puncak Kedaulatan Sukarno” itu adalah tahun
panjang yang sakral dan menyerempet bahaya demi tujuan nasional dan
tujuan revolusi sosialisme ala Sukarno.
Nama jalan Sukarno sendiri masih
dilarang oleh Orde Baru, nama Sukarno harus melibatkan nama Hatta agar
kenangan pada Sukarno sendiri dibatasi ‘kenangan terhadap Proklamasi’
bukan kenangan terhadap ‘Revolusi’.
Namun kini angin berubah cepat, setelah
bangkrutnya era Neoliberalisme yang sempat merajai Indonesia setelah
kejatuhan Suharto, maka kekuatan kaum Sukarnois bangkit. Di Jakarta,
kekuatan Sukarnois disimbolisasi dalam diri Jokowi, di Semarang
Rustriningsih mulai berkibar sementara di Jawa Timur terutama wilayah
Jawa Timur subkultur Mataraman nama Sukarno tetap menjadi nomor satu,
diperkirakan PDIP akan menjadi Partai terbesar nomor dua bahkan nomor
satu, setelah kebangkrutan Partai Demokrat yang dilipat karena masalah
korupsi. Di Jawa Barat sendiri, salah satu anak didik ideologis Sukarno,
Rieke Dyah Pitaloka sedang merebut kekuasaan politik di Jawa Barat.
Salah satu misi terpenting Jokowi di DKI
Jakarta selain mengenalkan tata pemerintahan yang bersih dan berdaulat
pro rakyat adalah mengenalkan rasa memiliki bangsa ini lewat alam
pikiran Sukarno, salah satu alam pikiran Sukarno paling penting dalam
peradaban kemerdekaan Indonesia adalah “Patriotisme yang Totaliteit”
Totalitas rasa Patriot untuk mencintai dan membela bangsa ini.
“Jalan Sukarno” sebentar lagi akan
banyak memenuhi ruang kota di Indonesia, ini sekaligus menghancurkan
stigma politik 1967 dimana Bung Karno dianggap ‘penjahat’ dalam gerakan
Gestapu Untung 1965, sekaligus mengembalikan kehormatan bagi yang
berhak.
Sementara “Jalan Sukarno” sebagai ideologi, akan menjadi pilihan paling panas dalam pertarungan politik 2014.